SAMUDRA PEMBUNGKUS JIWA

Rabu, 23 Februari 2011

Kemarin seorang sahabat saya menulis sesuatu tentang saya di FB [facebook] nya “Untuk my beloved Friend ARFA: Seorang sahabat yang selalu membungkus perasaannya sendiri dengan segudang rasa berlawanan, yang tersenyum saat situasi membutuhkannya untuk tersenyum (bukannya karena dia sedang ceria apalagi bahagia), tertawa hanya karena ingin menghargai perasaan orang lain (walaupun aslinya garing banget tuh lawakan), memberikan motivasi yang mengundang tepuk tangan (padahal aslinya yang ngomong lagi down ke titik nol karena baru putus sama pacar tuh)” :)
Awalnya jujur saya marah membaca tulisan di FB nya, karena menurut saya, saya tidak seperti itu :) terkesan apa yang saya lakukan untuk para sahabat saya tidak ikhlas tapi setelah saya renungi mungkin betul hanya bahasa yang digunakan beda dengan bahasa saya :)
Saya pun menilai bahwa jiwa manusia itu memang samudera, apa yang tampak dipermukaan beda dengan yang ada didalam samudera. Lihatlah betapa tenangnya samudera nan luas yang saya lihat dari ujung pantai, sangat hening malah, diam tak bergerak, khidmat, dingin, diam, hampa, bahkan angker tapi tahukah saya apa yang terjadi dibawah samudera itu yaitu gelombang maha dahsyat, runtuhnya gunung es dibawah laut, bergermuruh, bahkan ikan besar memangsa ikan kecil, hiu berebut mangsa.
Dan begitulah jiwa manusia yang saya pahami, tenang tak berarti tak bergejolak, bahagia tak berarti tak menyimpan luka, tertawa tak berarti tak menyimpan tangis, hening tak berarti tak menyimpan amarah dan seterusnya :)
Kemudian saya bertanya tanya mampukah saya melepas pembungkus rasa saya untuk menjadi saya apa adanya seperti yang terlihat? artinya sanggupkah JIWA saya terlihat apa adanya dan kemudian sedikit demi sedikit saya akan kehilangan orang orang yang saya sayangi hanya karena saya ingin terlihat apa adanya saya? menjadi Arfa yang tanpa topeng, tanpa pembungkus rasa, menangis ketika ingin menangis tanpa takut terlihat cengeng dan rapuh, marah ketika ingin marah tanpa harus pura pura tersenyum hanya untuk menyenangkan hati sahabat saya dan seterusnya. “jujurlah pada diri sendiri Fa, dont try to be nice if you dont want to” begitu kalimat lanjutan yang tertera di FB sahabat saya :)  ehm …
Agak sulit untuk saya karena saya selalu merasa bahwa hidup saya bukan untuk diri saya sendiri tapi untuk banyak orang, sulit untuk saya karena saya terbiasa menjadi lilin kecil yang selalu ada saat beberapa sahabat saya berada di lorong gelap dan belum menemukan cahaya di ujung lorong, maka lilin sayalah yang memberi jalan hingga sahabat saya menemukan ujung lorong penuh cahaya matahari :) saya terbiasa diam saat sahabat saya marah marah ke saya meski bukan karena kesalahan saya, saya terbiasa tak membalas meski saya tahu saya mampu membalas ketika saya terdzalimi? :) *suka merendah yah Fa, hahahah…*
ALLAH bersama jiwa jiwa yang tenang” ini ucapan guru mengaji saya bahwa ALLAH akan hadir ketika saya mampu meredam amarah, bahwa kehadiran ALLAH akan lebih dekat ketika saya mampu mengubah dendam menjadi doa yang indah, bahwa ALLAH selalu ada untuk mereka yang sanggup menahan gejolak jiwanya menjadi hening :) bukankah jiwa yang tenang bak samudera hanya diberikan kepada orang orang yang dipilih ALLAH, jika rasa didalam bergejolak toh tinggal dikembalikan kepada sang pemilik jiwa kan? ini hanya masalah rasa …
Ketika saya berusaha setenang samudera menghadapi semua riak hidup maka yang didalam samudera akan ditenangkan oleh pemilik jiwa yaitu ALLAH :) begini kira kira yang saya yakini :) jangankan saya, guru ngaji sayapun pasti memiliki gelombang pasang didalam jiwanya yang saya tak sanggup melihatnya bukan, saya salut ketika putra pertamanya diambil ALLAH karena DBD, ustadz saya hanya menangis sebentar, kelihatan tenang tanpa riak tapi sebetulnya guru mengaji saya sedang bersedih, hatinya menangis tapi beliau diam… ikhlas setenang samudera. Artinya tidak ada yang salah dengan samudera jiwa dengan pembungkus rasa kan? :) atau salah karena tidak jujur dengan perasaan sendiri? siapa bilang saya tidak jujur, saya JUJUR hanya kepada pemilik jiwa saya, kepada yang lain, saya akan pilih pilih :) begitu kira kira.
Lalu bagaimana cara membuat yang didalam samudera setenang luar samudera, sebening dan sebiru luarnya:
Salah satu cara untuk memiliki jiwa setenang samudera adalah selalu dalam keadaan berwudhu, selalu berdzikir dan mengingat ALLAH disetiap helaan napas ‘ambil napas dan hembuskan dengan lafaz ALLAH’ rasakan sedikit demi sedikit gunung es didalam samudera mulai tenang :) ini cara saya, karena hanya dengan mengingat ALLAH jiwa saya menjadi setenang samudera, hanya bersama ALLAH saya jujur memperlihatkan semua perasaan saya tanpa pembungkus rasa, karena ALLAH lah pemilik jiwa saya, tempat saya mengembalikan semua gemuruh …
Panggilah ALLAH seperti panggilan Ismail ketika hendak disembelih Ayahnya.  Panggilah ALLAH seperti panggilan nabi Ibrahim saat dibakar oleh kobaran api raja yang kafir dan dzalim.  Panggilah ALLAH seperti panggilan nabi Muhammad saat da’tsur menodongkan pedang ke lehernya, semua jiwa jiwa mereka terceburkan kedalam samudera kepasrahan kepada pemilik jiwa :) Subhnallah …. Ujian Ismail, kobaran api sang raja dan pedang Da’tsur tak akan terasa pahit ketika ALLAH menjadi pengisi samudera jiwa bukan? :)
Terima kasih kepada sahabat saya yang telah menulis begitu indahnya di FaceBook, tunggulah suatu hari nanti akan lahir Arfa yang berjiwa setenang samudera dan tanpa pembungkus :)
Jadi hikmahnya apa ya Fa? yaitu bahwa jiwa adalah samudera yang nampak tenang namun bergejolak didalamnya, gejolak rasa itu akan selalu ada suka tidak suka ia akan hadir, dan ALLAH adalah penenang gejolak itu, hanya ALLAH bukan yang lain … sayapun masih belajar :) gitu ya Fa? he eh [menjawab sambil tersipu]
 *sekarang punya FB ya Arfa? find me there dan dapatkan hikmah yang sangat dahsyat, DONT MISS IT* :)

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
 
Copyright © LA-TAHZAN